Kritik Esai dan Sastra
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 adalah seorang pujangga berkebangsaaan Indonesia yang terkemuka. Ia dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya pada menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (Sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam."
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986, beliau mendapat anugerah SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Sajak-sajak SDD, beliau ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisinya ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudjamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi Djoko Damono.
Puisi di atas merupakan salah satu puisi yang sangat terkenal dan memiliki makna yang mendalam. Dalam puisi tersebut, Sapardi menggunakan kata-kata sederhana yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti : tabah, hujan, bunga, pohon, akar, bijak, dan arif. Kata bertemakan alam lebih mendominasi. Ditambah lagi penyusunan kata yang indahm teraturm dan tepat membuat penyair dapat mencurahkan perasaan dan juga isi pikirannya ke dalam puisi tersebut. Puisi tersebut tersusun atas tiga bait dengan kata-kata penuh konotasi juga majas personifikasi yang diselipkan pada setiap baitnya oleh penyair yang menyukai hujan tersebut. Bagi penyair, hujan melambangkan kasih sayang. Kasih sayangnya hujan pada pohon. Menurut penyair, hujan yang datang pada Bulan Juni adalah hujan yang sungguh tabah, bijak, arif karena mengetahui kerinduan yang dirasakan oleh sang pohon.
Makna puisi Hujan di Bulan Juni pada bait pertama "Tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni." penyair mengartikan hujan sebagai kasih sayang. Kata "tabah" memberikan makna kesabaran agar hujan tidak ke bumi pada bulan Juni karena bulan Juni adalah musim kemarau. Lalu ketabahan juga mengandung makna lain bahwa kesabaran seseorang untuk tidak menyampaikan sayang juga rindunya pada orang yang dicintainya. Lalu pada kalimat "dirahasiakannya rintik rindunya." Memberikan makna bahwa dalam sayang dan rindunya untuk disimpan saja. Dan pada bait pertama ini ditutup dengan kalimat "kepada pohon berbunga itu." Yang memiliki apabila digabungkan dengan kalimat yang sebelumnya mengandung makna bahwa rasa sayang dan rindu yang dimilikinya untuk disimpan saja kepada orang yang disayanginya dan dirindukannya.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986, beliau mendapat anugerah SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Sajak-sajak SDD, beliau ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisinya ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudjamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi Djoko Damono.
Puisi di atas merupakan salah satu puisi yang sangat terkenal dan memiliki makna yang mendalam. Dalam puisi tersebut, Sapardi menggunakan kata-kata sederhana yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti : tabah, hujan, bunga, pohon, akar, bijak, dan arif. Kata bertemakan alam lebih mendominasi. Ditambah lagi penyusunan kata yang indahm teraturm dan tepat membuat penyair dapat mencurahkan perasaan dan juga isi pikirannya ke dalam puisi tersebut. Puisi tersebut tersusun atas tiga bait dengan kata-kata penuh konotasi juga majas personifikasi yang diselipkan pada setiap baitnya oleh penyair yang menyukai hujan tersebut. Bagi penyair, hujan melambangkan kasih sayang. Kasih sayangnya hujan pada pohon. Menurut penyair, hujan yang datang pada Bulan Juni adalah hujan yang sungguh tabah, bijak, arif karena mengetahui kerinduan yang dirasakan oleh sang pohon.
Makna puisi Hujan di Bulan Juni pada bait pertama "Tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni." penyair mengartikan hujan sebagai kasih sayang. Kata "tabah" memberikan makna kesabaran agar hujan tidak ke bumi pada bulan Juni karena bulan Juni adalah musim kemarau. Lalu ketabahan juga mengandung makna lain bahwa kesabaran seseorang untuk tidak menyampaikan sayang juga rindunya pada orang yang dicintainya. Lalu pada kalimat "dirahasiakannya rintik rindunya." Memberikan makna bahwa dalam sayang dan rindunya untuk disimpan saja. Dan pada bait pertama ini ditutup dengan kalimat "kepada pohon berbunga itu." Yang memiliki apabila digabungkan dengan kalimat yang sebelumnya mengandung makna bahwa rasa sayang dan rindu yang dimilikinya untuk disimpan saja kepada orang yang disayanginya dan dirindukannya.
Kemudian pada bait kedua
pada kalimat “Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni.” Kata “bijak”
artinya mampu dan bisa. Dia mampu dengan ketabahannya menahan untuk tidak
menyampaikan sayang dan juga rindunya atau menggambarkan penantian seseorang
tersebut sangat bijak dan tidak ada yang melebihi kebijakan penantiannya. Lalu
pada kalimat “Dihapusnya jejak jejak
kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.” Artinya dia menghapus keraguan,
prasangka jelek yang hinggap dihatinya dalam menanti orang yang dicintainya.
Pada bait ketiga "Tak ada yang lebih arif dari bulan Juni." Arif artinya cerdik, pandai. Memberikan makna bahwa dia pandai menyimpan, menyembunyikan rasa kasih sayang dan rindunya pada orang yang dicintainya. Lalu "Dibiarkannya tak terucapkan." Memberikan makna bahwa dia membiarkannya atau tidak diucapkannya apa yang ia rasakan yaitu rasa sayang dan rindunya. Dan pada kalimat terakhir "Diserap oleh akar pohon bunga itu." Artinya membiarkan rasanya selama ini tanpa diucapkan, supaya dimengerti sendiri olehnya sehingga berbuah manis yaitu cintanya diterima oleh seorang yang ia cintanya.
Secara keseluruhan makna puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan tentang penantian seorang kepada seorang yang dinantinya. Dengan sangat tabah, bijak, dan arif ia menanti. Dengan merahasiakannya segala rindunya menghapus segala keraguannya dalam menanti. Akhirnya penantiannya berbuah manis. Ia mendapatkan seorang yang dinantinya tersebut. Karena begitu tulusnya perasaan seseorang tersebut ia membiarkan tak terucapkan segala apa yang ia rasa selama menanti.
Pendekatan yang saya gunakan dalam membuat kritik dan esai ini adalah pendekatan ekspresif. Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan visi pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Menurut saya, penyair puisi-puisi Sapardi memiliki "kesederhanaan yang menjadi sebentuk ambiguitas, sementara keadaan yang penuh ambiguitas itu tetap dapat dipahami khalayak ramai." Hal itu menunjukkan kemampuan yang spesial dari puisi-puisi itu dan hanya Sapardi yang bisa membuatnya. Seperti jika harus memahami sajak Sapardi sendiri, hasil karyanya adalah puisi-puisi yang dapat "dicintai dengan sederhana." Sementara kita tahu mencintai dengan sederhana adalah hal yang luar biasa sulit, sesederhana itu pulalah memahami dan mencintai karya-karya Sapardi.
Sapardi menulis puisi Hujan Bulan Juni berdasarkan pengalaman yang tak muluk-muluk. Saat berada di Yogya dan Solo pada masa mudanya, ia selalu menjalani Juni yang kemarau kering dengan malam-malamnya yang dingin menusuk tulang. Juni-Juli adalah masa libur buat mahasiswa dan hujan tak pernah diingatnya mampir ke bulan-bulan tersebut. Hujan yang turun "salah jadwal" di bulan Juni itu kemudian memantik sulur-sulur serebrum Sapardi untuk menuliskan puisi Hujan Bulan Juni. Kala itu, bagi Sapardi (dan bentangan imajinasinya), hujan salah jadwal tersebut janggal dan jadi masalah. Kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?
Menurut saya, hal yang membuat Hujan Bulan Juni menjadi lebih menarik adalah diksi yang digunakan dalam puisi tersebut menggunakan bahasa yang lembut, indah, dan sederhana. Hal ini membuat orang-orang awam pun mampu menikmati puisi beliau, bukan hanya para sastrawan saja. Hasil karyanya dapat dinikmati lintas generasi, karena bahasanya yang ringan tapi menyentuh hati. Dengan melihat hasil-hasil karya sajaknya saja dapat terlihat bahwa beliau banyak terisnpirasi oleh alam, seperti hujan, daun, dan bunga.
Pada bait ketiga "Tak ada yang lebih arif dari bulan Juni." Arif artinya cerdik, pandai. Memberikan makna bahwa dia pandai menyimpan, menyembunyikan rasa kasih sayang dan rindunya pada orang yang dicintainya. Lalu "Dibiarkannya tak terucapkan." Memberikan makna bahwa dia membiarkannya atau tidak diucapkannya apa yang ia rasakan yaitu rasa sayang dan rindunya. Dan pada kalimat terakhir "Diserap oleh akar pohon bunga itu." Artinya membiarkan rasanya selama ini tanpa diucapkan, supaya dimengerti sendiri olehnya sehingga berbuah manis yaitu cintanya diterima oleh seorang yang ia cintanya.
Secara keseluruhan makna puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan tentang penantian seorang kepada seorang yang dinantinya. Dengan sangat tabah, bijak, dan arif ia menanti. Dengan merahasiakannya segala rindunya menghapus segala keraguannya dalam menanti. Akhirnya penantiannya berbuah manis. Ia mendapatkan seorang yang dinantinya tersebut. Karena begitu tulusnya perasaan seseorang tersebut ia membiarkan tak terucapkan segala apa yang ia rasa selama menanti.
Pendekatan yang saya gunakan dalam membuat kritik dan esai ini adalah pendekatan ekspresif. Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan visi pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Menurut saya, penyair puisi-puisi Sapardi memiliki "kesederhanaan yang menjadi sebentuk ambiguitas, sementara keadaan yang penuh ambiguitas itu tetap dapat dipahami khalayak ramai." Hal itu menunjukkan kemampuan yang spesial dari puisi-puisi itu dan hanya Sapardi yang bisa membuatnya. Seperti jika harus memahami sajak Sapardi sendiri, hasil karyanya adalah puisi-puisi yang dapat "dicintai dengan sederhana." Sementara kita tahu mencintai dengan sederhana adalah hal yang luar biasa sulit, sesederhana itu pulalah memahami dan mencintai karya-karya Sapardi.
Sapardi menulis puisi Hujan Bulan Juni berdasarkan pengalaman yang tak muluk-muluk. Saat berada di Yogya dan Solo pada masa mudanya, ia selalu menjalani Juni yang kemarau kering dengan malam-malamnya yang dingin menusuk tulang. Juni-Juli adalah masa libur buat mahasiswa dan hujan tak pernah diingatnya mampir ke bulan-bulan tersebut. Hujan yang turun "salah jadwal" di bulan Juni itu kemudian memantik sulur-sulur serebrum Sapardi untuk menuliskan puisi Hujan Bulan Juni. Kala itu, bagi Sapardi (dan bentangan imajinasinya), hujan salah jadwal tersebut janggal dan jadi masalah. Kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?
Menurut saya, hal yang membuat Hujan Bulan Juni menjadi lebih menarik adalah diksi yang digunakan dalam puisi tersebut menggunakan bahasa yang lembut, indah, dan sederhana. Hal ini membuat orang-orang awam pun mampu menikmati puisi beliau, bukan hanya para sastrawan saja. Hasil karyanya dapat dinikmati lintas generasi, karena bahasanya yang ringan tapi menyentuh hati. Dengan melihat hasil-hasil karya sajaknya saja dapat terlihat bahwa beliau banyak terisnpirasi oleh alam, seperti hujan, daun, dan bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar